Jumat, 18 April 2014

Worship Matters (Ringkasan Bab 9 dan 10)

Ringkasan buku Worship Matters karangan Bob Kauflin. Selamat membaca.

Bab 9: ... Di dalam Yesus Kristus...
Yohanes 4:21-23, “Kata Yesus kepadanya: ‘Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan juga bukan di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.’ ’’
Yesus bermaksud mengatakan bahwa tempat perjumpaan kita dengan Allah tidak lagi dibatasi struktur bangunan, lokasi geografis, atau waktu tertentu.
Berikut komentar D. A. Carson: Menyembah Allah di dalam ‘roh’ dan ‘kebenaran’ merupakan suatu cara untuk mengatakan bahwa kita harus menyembah Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam Dia dimulai segala sesuatu yang baru (lihat Ibrani 8:13). Ibadah kristiani adalah ibadah perjanjian baru – ibadah yang terinspirasi Injil, ibadah yang berpusat pada Kristus; ibadah yang berfokus pada salib.
1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yesus sang pengantara kita.
Di luar karya yang sudah dilakukan oleh Kristus, kita tidak memiliki akses kepada Allah. Menurut Alkitab, tidak ada pemimpin ibadah, pendeta, band, atau lagu apa pun yang dapat mendekatkan kita kepada Allah. Sorak sorai, tarian, atau nubuat tidak dapat membawa kita ke hadirat Allah. Ibadah itu sendiri tidak dapat membawa kita kepada Allah. Hanya Yesus sendirilah yang dapat membawa kita ke hadirat Allah; Ia sudah melakukan-Nya melalui pengorbanan-Nya – sekali untuk selamanya – pengorbanan yang tidak akan diulang, tetapi perlu kita beritakan dan percayai setiap saat.
Karya Kristus di kayu salib juga memberi kita jaminan bahwa ibadah kita berkenan di hati Allah. Satu-satunya faktor utama yang membuat ibadah berkenan adalah iman dan persekutuan dengan Yesus Kristus. Persembahan rohani kita menjadi berkenan kepada Allah melalui Yesus Kristus (1 Petrus 2:5). Persembahan Yesus yang tak bercacat cela itulah yang memurnikan dan menyempurnakan persembahan ibadah kita.
Karya Kristus di kayu salib membuat kita tidak dapat berbangga atas persembahan kita. Karena tanpa Yesus Kristus dan tanpa karya-Nya di kayu salib, semua persembahan itu tidak berkenan di hadapan Allah. Saya tidak bermaksud melecehkan keahlian, latihan persiapan, kompleksitas, suasana, musikalitas, atau kesungguhan hati. Namun karya Kristus sajalah yang membuat persembahan ibadah kita berkenan di hadapan Allah. Oh, betapa melegakan!
Bagaimana kita dapat menyembah Allah dengan benar tanpa mengabaikan satu aspek pun dari hakikat-Nya? Jawabannya: kita dapat menyembah Dia sebagaimana Ia sudah menyatakan diri-Nya dalam Kristus Yesus. Allah telah memberi kita “pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Di manakah kita menemukan kemuliaan Allah? “Di wajah Kristus Yesus.” “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3).
Karya Kristus di kayu salib adalah fokus ibadah di surga.  “Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: ‘Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka  materai-materainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi’ ” (Wahyu 5:9-10).
Frederick Leahy memperingatkan kita: Ada bahaya yang perlu kita hindari, yaitu memandang ketaatan Kristus yang berlandaskan kasih itu semata-mata dilakukan-Nya demi manusia, padahal hal tersebut dilakukan-Nya pertama-tama demi kasih-Nya kepada Allah. Demi kasih-Nya kepada Allah, Ia menerima hukuman salib (Ibarani 10:7)... Betapa sering kebenaran ini terabaikan; kebenaran ini tidak melemahkan keajaiban bahwa Kristus mengasihi setiap umat-Nya dengan segenap kasih-Nya.
Salib membebaskan kita dari kasih terhadap diri sendiri yang cenderung menyesatkan. Dengan demikian, kita dapat sepenuhnya mengasihi Dia yang sudah mengasihi kita.
Setiap kali kita memimpin jemaat, kita harus memberi gambaran yang jelas tentang “kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Kita berkumpul bersama untuk mengabarkan kembali, mengingat, dan menanggapi Injil dan segala yang telah digenapinya.
Maka dari itu, salah satu pikiran utama kita selagi mempersiapkan ibadah hari Minggu seharusnya demikian: Apakah waktu yang kita khususkan bersama untuk beribadah memperkuat pandangan jemaat, memperdalam iman, dan meningkatkan kerinduan akan kemuliaan Allah dalam Kristus, dan pada Dia yang disalibkan?

Bab 10: ...Melalui Kuasa Roh Kudus...
Seperti halnya kita tidak dapat menyembah Allah Bapa di luar Yesus Kristus, ibadah akan menjadi suatu kemustahilan bila terlepas dari Roh Kudus. Alkitab menggambarkan Roh Kudus sebagian dari Tritunggal yang menyingkapkan realitas, kehadiran, keberadaan, dan kuasa Kristus bagi kita – bagi kemuliaan Allah.
Roh Kuduslah yang berinisiatif membuka mata kita sehingga kita menyadari dosa-dosa kita; Roh Kudus mengarahkan hati kita supaya kita percaya kepada Sang Juruselamat dan menerima pengampunan penuh. Roh Kudus menghidupkan roh kita yang tadinya mati (Galatia 5:25). Roh Kudus mengukuhkan kita bahwa kita anak-anak Allah. Roh Kudus menunjukkan apa yang sudah diberikan Allah kepada kita dengan cuma-cuma (1 Kor 2:12). Roh Kudus menghibur kita saat kita sedang dalam pencobaan. Roh Kudus menerangi kita di tengah kebingungan yang kelam dan menguatkan kita dalam pelayanan kepada sesama.
Berusaha memimpin ibadah tanpa aliran listrik adalah pengalaman yang tidak membesarkan hati. Berusaha memimpin tanpa aliran kuasa Roh Kudus sebenarnya lebih parah lagi.
Kita memerlukan kuasa Roh Kudus saat kita menyembah Tuhan. Namun apakah artinya itu? Bagaimana kita menerapkan hal itu?
Ada tiga sikap yang harus ada di bidang itu – bergantung penuh, berharap penuh, dan sikap tanggap yang disertai kerendahan hati.
Kita benar-benar perlu bergantung kepada Roh Kudus.
Allah sudah mengirim Roh-Nya untuk menolong kita. Kita mengakui kebergantungan kita dengan jalan meminta Dia memberdayakan kita dengan kuasa-Nya. Itulah sebabnya kita diajar berdoa di dalam Roh dan oleh Roh; kita diajar berdoa agar Roh Kudus bekerja (Efesus 6:18; Yudas 20; Roma 8:26).
Mengakui kebergantungan penuh kepada Roh Kudus seharusnya membuahkan rasa syukur, kerendahan hati, dan kedamaian. Kebergantungan ini seharusnya membebaskan kita dari kecemasan kita tentang apakah ibadah akan berlangsung lancar, apakah sound system akan berfungsi dengan baik, bagaimana respon jemaat kepada kita. Tentu saja, semua itu perlu kita perhatikan, namun keyakinan kita tidak bergantung pada hal-hal itu. Lagipula, kuasa Tuhan menjadi nyata bukan lewat kebolehan kita, melainkan lewat kelemahan kita (2 Kor 12:9).
Ya, Allah masih dapat melakukan apa yang dilakukan-Nya pada zaman dahulu. Ia masih bekerja; Ia masih bertindak; Ia tidak berubah. Tetapi apakah kita sungguh percaya? Secara teori, sebagian kita percaya akan kehadiran Roh Kudus yang memberi kuasa, namun sepertinya kita tidak percaya bahwa Allah aktif bekerja ketika kita sedang beribadah. Fokus kita lebih tertuju pada pelaksanaan rencana yang sudah kita buat. Di ujung ekstrim lainnya, jemaat berharap kehadiran Roh Kudus dinyatakan secara aktif, namun mereka berasumsi bahwa hal itu akan selalu termanifestasi secara spektakuler atau dengan cara yang tidak biasa.
Ketahuilah bahwa Roh Kudus sungguh hadir dan aktif bekerja setiap kali jemaat berkumpul untuk beribadah.
Jika kita menyadari bahwa kita bergantung  penuh kepada Roh Allah dan benar-benar mengharapkan Dia bekerja dalam kuasa-Nya, kita juga berendah hati dan bersikap tanggap terhadap apa yang sedang dilakukan-Nya.
Ini artinya kita memenuhi tanggung jawab dengan sukacita, pengharapan, dan kesetiaan. Tidak ada lagi yang namanya hari Minggu biasa-biasa saja. Tidak ada ibadah yang hanya rutinitas saja.
Sikap tanggap yang disertai kerendahan hati juga melibatkan kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus ketika kita sedang memimpin. Apa yang Roh Kudus sedang ‘katakan’ kepada kita? Mungkin kita tergerak untuk menekankan kalimat tertentu dari sebuah lagu atau mengulang bait yang berkaitan dengan tema yang relevan. Mungkin Ia mengarahkan perhatian kita pada ayat tertentu yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Penting untuk diingat bahwa hal-hal tadi tidak dapat menjadi pengganti firman Allah yang tertulis. Alkitab menjadi standar untuk menguji setiap dorongan hati yang diperoleh ketika kita sedang memimpin ibadah.
Ketika Allah berbicara kepada kita secara subyektif melalui Roh-Nya, kita perlu merespon dengan kerendahan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar