Sabtu, 12 April 2014

Worship Matters (Ringkasan Bab 7)

Bab 7: Pemimpin Ibadah yang Setia
Beberapa tahun terakhir, penyembahan menjadi istilah yang populer. Sepuluh dari kelima puluh album top Kristen di Amerika Serikat adalah album penyembahan. Suksesnya pemasaran album rohani berlabel worship sudah mengubah puji-pujian yang dinyanyikan di dalam gereja, pula mempengaruhi pengertian kita tentang penyembahan.
Tentu saja, di mata Tuhan penyembahan selalu merupakan waktu yang istimewa. Namun maraknya komersialisasi musik penyembahan dan laju kepopulerannya mempunyai sisi negatifnya pula. Misalnya, kita terpancing untuk berpikir bahwa kita akan lebih efektif kalau terlihat, terdengar, dan bertingkah seperti worship leader tersohor.
Namun industri rekaman musik penyembahan bukanlah standar yang Allah berikan untuk menentukan keefektifan. Firman-Nya – itulah standar kita.
Standar apa pun yang digunakan orang lain untuk menilai pelayanan kita, Allah menghendaki kita setia. Kesetiaan berarti tekun melakukan pekerjaan pelayanan, memegang perkataan, memenuhi tanggung jawab. Ini juga berarti loyal, konstan, dapat diandalkan.
Menjadi setia berarti memenuhi keinginan yang bukan berasal dari diri kita sendiri. Bukan kita yang menentukan pelayanan, melainkan Tuhan.
Paulus berkata kepada jemaat di Korintus: “Demikianlah hendaknya orang memandang kami: yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor 4:1-2).
Godaan. Berbagai godaan dapat membuat kita tidak setia dan tidak dapat dipercaya, salah satunya adalah popularitas. Harold Best berkata, “Pelayanan dan popularitas sudah menjadi sangat erat kaitannya sehingga popularitas adalah hal yang hampir selalu terbersit di benak seseorang ketika ia sedang memikirkan pelayanan di bidang musik.” Bukan itu yang dikehendaki Allah.
Kita juga tergoda untuk menilai keberhasilan pelayanan dengan angka, misalnya berapa orang yang hadir di hari Minggu. Jumlah orang yang lebih banyak tidak selalu berarti bahwa kita menyenangkan Tuhan.
Kita juga terbias karena mengimpor “mentalitas konser”. Kita menyusun acara, menyanyikan lagu ibadah terkini, dan mempesona orang-orang dengan efek-efek (tata cara berkonser, suara, cahaya lampu, gambar, dan musik) yang menarik.  Tujuan kita sebagai pemimpin ibadah berbeda dari tujuan konser mana pun, lagipula jauh lebih signifikan. Kita melayani supaya jemaat terpesona oleh kemuliaan Sang Juruselamat yang melampaui keadaan sekeliling dan melebihi teknologi tercanggih.
Setia memimpin. Roma 12:8 mengatakan bahwa para pemimpin harus memimpin dengan sungguh-sungguh (atau “dengan rajin”). Memimpin jemaat menyembah Tuhan memerlukan energi, kesungguhan, dan kepekaan. Walaupun kita tidak tahu pasti jemaat akan memberi respons dalam ibadah, kita akan menuai apa yang kita tabur. Berfokus pada musik, akan menuai keinginan agar suara menjadi lebih baik, progresi menjadi lebih sejuk, aransemen menjadi lebih kreatif. Berfokus pada emosi, akan menuai ibadah yang hanya menginginkan gelora emosi. Menabur bagi kemuliaan Allah, menuai buah-buah dari jemaat yang terkagum-kagum akan kebesaran dan kebaikan Tuhan.
     Kepemimpinan yang setia tidak selalu mendatangkan pujian, tepuk tangan, atau penghargaan. Buah dari kepemimpinan yang setia ialah mengetahui bahwa kita menyenangkan Dia. Kita bersukacita bukan karena sudah memimpin ibadah dengan sempurna atau memperoleh penghargaan. Tujuan kita bukanlah sukses, popularitas, atau pun kepuasan pribadi. Tujuan kita ialah mengantisipasi – oleh anugrah Allah dan bagi kemuliaan Yesus Kristus – bahwa kita suatu saat akan mendengar, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21, 23). Itu upah terbesar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar